
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), menyampaikan bahwa peraturan terkait kenaikan tarif royalti di sektor mineral dan batu bara sudah sesuai dengan laporan keuangan perusahaan.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba), Tri Winarno memastikan bahwa penyesuaian tarif royalti sendiri telah melalui kajian, termasuk perhitungan berdasarkan laporan keuangan perusahaan.
“Tapi poinnya sudah, datanya sudah ada dan memang sudah kita excise. Tapi dari laporan keuangan yang selama ini dibuat oleh perusahaan, rasanya itu masih oke lah,” ujar Tri dalam acara CNBC Indonesia Mining Forum di Jakarta, dikutip Rabu (19/3/2025).
Sebagaimana diketahui, pemerintah tengah merevisi aturan terkait royalti dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di sektor mineral dan batu bara (minerba). Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kontribusi sektor pertambangan untuk penerimaan negara.
Dua aturan yang tengah direvisi antara lain Peraturan Pemerintah No.26 tahun 2022 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang Berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan PP No.15 tahun 2022 tentang Perlakuan Perpajakan dan atau Penerimaan Negara Bukan Pajak di Bidang Usaha Pertambangan Batu Bara.
Di komoditas mineral, beberapa komoditas yang akan mengalami kenaikan royalti antara lain nikel, bak bijih dan produk pengolahan, emas, timah, perak, hingga tembaga.
Sebelumnya, Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey mengatakan, pemerintah berencana menaikkan tarif royalti bijih nikel menjadi 14%-19% dari saat ini 10%.
Menurutnya, perubahan tarif royalti akan semakin menekan para pelaku usaha, terutama di industri nikel.
Ia menilai, dengan rencana kenaikan tarif bijih nikel menjadi 14%-19%, Indonesia akan memiliki tarif royalti tertinggi apabila dibandingkan negara penghasil nikel lainnya.
“Jadi kita tarif royalti saat ini kan 10%. Akan ada kenaikan 14-19%. Ternyata dari seluruh negara penghasil nikel kita yang tertinggi yang 10%. Sebelum tambah yang 14-19%,” kata Meidy, Senin (17/3/2025).
Menurut dia, di beberapa negara seperti Amerika Serikat, negara-negara Asia, Eropa, dan bahkan negara tetangga, tarif royalti bijih nikel lebih rendah dibandingkan Indonesia. Beberapa negara bahkan menerapkan royalti berbasis keuntungan (profit-based).
Di sisi lain, ia menyoroti bahwa para pelaku usaha nikel domestik juga sudah menghadapi berbagai kewajiban yang cukup membebani. Ditambah lagi, lanjutnya, harga nikel di pasar global tengah anjlok.