Problem Sampah Makanan di Indonesia: Akar Masalah Solusinya

Foto: Ilustrasi sampah makanan. (Dok. Freepik)

Indonesia menghadapi krisis Food Loss & Waste (FLW) yang serius. Studi dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Waste4Change, dan WRI Indonesia mengungkapkan bahwa negara ini membuang 23 juta ton hingga 48 juta ton makanan setiap tahun, setara dengan 115 hingga 184 kilogram per orang. Yang lebih mengejutkan, sebanyak 44% dari makanan yang terbuang tersebut masih layak konsumsi.

FLW berdampak besar terhadap lingkungan dan ekonomi. FLW menyumbang 7,29% dari emisi gas rumah kaca tahunan Indonesia, memperburuk perubahan iklim. Secara ekonomi, FLW mengakibatkan kerugian antara Rp 214 miliar hingga Rp 551 miliar Rupiah per tahun, atau sekitar 4%-5% dari PDB nasional.

FLW mencakup penurunan kuantitas atau kualitas makanan sepanjang rantai pasokan, dari pertanian hingga meja makan. Food Loss (FL) terjadi di hulu, sering disebabkan oleh infrastruktur yang buruk atau bencana alam, sehingga makanan tidak pernah sampai ke konsumen.

Sebaliknya, Food Waste (FW) terjadi di hilir, sering disebabkan oleh pembelian berlebihan, penyimpanan yang tidak tepat, atau kebiasaan konsumen, yang menyebabkan makanan dibuang setelah mencapai tingkat ritel atau rumah tangga.

Selama 20 tahun terakhir, persentase FL menunjukkan tren menurun, dari 61% pada tahun 2000 menjadi 45% pada tahun 2019, dengan rata-rata 56%. Sebaliknya, persentase FW meningkat, dari 39% pada tahun 2000 menjadi 55% pada tahun 2019, dengan rata-rata 44%.

Memfokuskan perhatian pada FW daripada FL sangat penting karena beberapa alasan. Pertama, FW merupakan bagian yang lebih signifikan dari keseluruhan masalah FLW, yaitu hampir 55%, sebagaimana dilaporkan oleh Bappenas. Kedua, FW lebih mudah diukur dan dianalisis dibandingkan dengan FL, yang terjadi di sepanjang rantai pasokan yang kompleks.

Ketiga, sebagian besar FW terjadi di tingkat konsumen, sehingga memberikan peluang untuk inisiatif perubahan perilaku dan kampanye kesadaran publik. Terakhir, FW sering kali mengandung sumber daya yang dapat dipulihkan seperti nutrisi dan bahan organik, yang dapat diubah menjadi produk berharga seperti kompos dan energi terbarukan, mempromosikan ekonomi sirkular.

Meski ada minat yang meningkat dalam pencegahan dan pemulihan FW, Indonesia masih tertinggal dari negara-negara seperti Amerika Serikat, Korea Selatan, Singapura, dan Jerman dalam pengelolaan FW. Meskipun terdapat peraturan mengenai pengelolaan limbah organik dan non-organik di Indonesia, tidak ada yang secara khusus membahas FW.

Kebijakan yang efektif untuk pencegahan FW harus memperhatikan perilaku dan motivasi di balik generasi FW. Secara tradisional, tindakan hukuman seperti denda telah digunakan untuk menegakkan kebijakan pengelolaan FW di banyak negara. Namun, efektivitasnya dalam mendorong perubahan perilaku jangka panjang dipertanyakan.

Sebuah studi menunjukkan bahwa 40% bisnis yang mendaur ulang FW melakukannya terutama untuk menghindari denda yang mahal, namun tidak selalu karena komitmen untuk mengurangi FW dalam jangka panjang. Sebuah laporan dari pemerintah Inggris menunjukkan bahwa pendekatan yang lebih holistik diperlukan untuk mengatasi masalah FW yang kompleks, daripada hanya mengandalkan tindakan hukuman.

Kebijakan berbasis insentif dapat memainkan peran penting dalam mendorong perubahan perilaku dan meningkatkan praktik pengelolaan FW. Misalnya, rumah tangga di Italia mendapat manfaat dari pemotongan pajak dan insentif moneter untuk mengadopsi perilaku makanan positif, yang mengarah pada pengurangan signifikan dalam FW yang tidak dipilah.

Undang-undang anti-FW Italia tahun 2016, termasuk skema Pay As You Throw (PAYT) yang diterapkan di lebih dari 6.100 kotamadya, telah mengurangi separuh FW dan mengurangi total limbah sekitar 10%.

Demikian pula, di AS, bisnis menerima insentif pajak federal untuk mendorong pemulihan makanan. Kode Pajak Internal (The Internal Revenue Code) memungkinkan kredit pajak ganda untuk sumbangan makanan: pengurangan pajak umum yang setara dengan biaya makanan yang disumbangkan, ditambah pengurangan tambahan yang memungkinkan donor untuk mengurangi dua kali lipat biaya makanan atau biaya ditambah setengah dari keuntungan yang diharapkan jika dijual pada nilai pasar.

Ini berpotensi menggandakan pengurangan standar, dengan perusahaan dapat mengurangi hingga 15% dari pendapatan kena pajak atas makanan yang mereka sumbangkan.

Kebijakan berbasis insentif seperti ini efektif dalam mendorong perubahan perilaku dan mengurangi FW. Namun, seperti yang disoroti oleh Food and Agriculture Organization (FAO), konteks dan tantangan lokal memerlukan solusi yang disesuaikan daripada pendekatan satu ukuran untuk semua seperti denda. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan kebijakan insentif yang paling efektif untuk mengurangi FW di berbagai sektor di Indonesia.

Kebijakan pengelolaan FW Indonesia saat ini tidak cukup untuk mengatasi skala dan kompleksitas masalah ini. Dengan sebagian besar FW yang dapat dipulihkan dan dampak ekonomi dan lingkungan yang substansial, sangat penting untuk beralih ke kebijakan berbasis insentif.

Kebijakan ini dapat secara efektif mendorong perubahan perilaku, meningkatkan keamanan pangan, dan mendukung keberlanjutan lingkungan. Dengan belajar dari praktik-praktik sukses di negara lain dan menyesuaikan solusi dengan konteks lokal, Indonesia dapat membuat langkah signifikan dalam mengurangi FW dan dampak yang terkait.

Kesimpulannya, krisis FW di Indonesia menuntut perhatian mendesak dan solusi inovatif. Dengan berfokus pada kebijakan berbasis insentif, kita dapat mendorong praktik yang lebih berkelanjutan, mengurangi limbah, dan menciptakan sistem pangan yang lebih tangguh untuk masa depan. Sudah saatnya bagi Indonesia untuk mengambil tindakan kreatif dan memimpin dalam mengatasi masalah kritis ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*