Miris! Rakyat RI Miskin Gegara Air Galon, 3 Emiten Ini Malah Cuan Gila

Pekerja memindahkan Galon air mineral dengan alat berat di distributor Aqua di kawasan Jakarta, Selasa (4/6/2024). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Pekerja memindahkan Galon air mineral dengan alat berat di distributor Aqua di kawasan Jakarta, Selasa (4/6/2024). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Air minum dalam kemasan (AMDK) digadang-gadang menjadi penyebab pengeluaran masyarakat membengkak dan turun menurunkan taraf hidup masyarkat RI, karena dinilai sudah ketergantungan dengan air minum kemasan, terutama dalam bentuk galon.

Air minum kemasan terbilang sudah menjadi kebutuhan pokok memenuhi kebutuhan fisiologis. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), meskipun ada fluktuasi, persentase rumah tangga yang menggunakan air minum dalam kemasan terus mengalami peningkatan, terutama di daerah perkotaan.

Hal ini dipicu oleh meningkatnya kesadaran akan kebersihan dan kualitas air minum di kalangan masyarakat.

Selain itu, data menunjukkan bahwa beberapa provinsi di Indonesia mencatat konsumsi air minum dalam kemasan tertinggi.

Pada 2023, DKI Jakarta memimpin dengan 79,39% rumah tangga menggunakan air minum dalam kemasan. Provinsi lainnya seperti Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, dan Kalimantan Utara juga menunjukkan tren serupa.

Faktor utama yang mendorong tingginya konsumsi air kemasan di provinsi-provinsi ini adalah akses yang lebih mudah dan kesadaran akan pentingnya air bersih di tengah pertumbuhan urbanisasi yang pesat.

Melihat data di atas terbukti bahwa permintaan terhadap air minum kemasan masih resilient. Sejumlah perusahaan yang memiliki bisnis ini pun ketiban cuan.

Saat pengeluaran masyarakat membengkak akibat ketergantungan dengan air minum kemasan, emiten-emiten yang memproduksi air minum kemasan termasuk dalam bentuk galon justru mendulang cuan karena meningkatnya permintaan konsumsi air minum kemasan, di mana ini menjadi ironis.

Setidaknya ada tiga emiten air minum kemasan yang mencetak penjualan dan kinerja harga saham ciamik yakni PT Akasha Wira International Tbk (ADES), PT Sariguna Primatirta Tbk (CLEO), dan PT Mayora Indah Tbk (MYOR).

Emiten Produsen Air Minum Kemasan Mendulang Cuan Akibat Melonjaknya Permintaan Konsumsi

Sebagaimana diketahui, ADES dan CLEO merupakan emiten konsumer yang dikenal oleh masyarakat sebagai perusahaan produsen air kemasan. Tak hanya ADES dan CLEO, ternyata MYOR juga memiliki lini bisnis air minum kemasan, meski pangsa pasar di air minum kemasan mungkin tidak sebesar ADES dan CLEO.

Meningkatnya permintaan akan konsumsi air minum kemasan membuat kinerja keuangan tiga emiten yakni ADES, CLEO, dan MYOR pun cemerlang.

Untuk ADES, mengutip data laporan keuangan sampai Juni 2024, perusahaan mencatat penjualan di segmen makanan dan minuman mencapai Rp 504,57 miliar, nilai ini berhasil tumbuh signifikan hingga 32,37% secara tahunan (year-on-year/yoy).

Begitu juga CLEO, menurut data laporan keuangan perusahaan mencatat, penjualan bersih pada Semester I/2024 mencapai Rp1,29 triliun naik 32,88% secara tahunan, dari Rp975,67 miliar pada paruh pertama tahun sebelumnya.

Penjualan yang positif turut mendongkrak bottom line perusahaan yang tumbuh nyaris 75% ke Rp220,23 miliar.

Terakhir, pendapatan MYOR dari segmen minuman olahan dalam kemasan mencapai Rp 8,38 triliun, melesat 14,90% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp 7,29 triliun.

Penjualan yang ciamik tersebut kemudian membuat MYOR bisa mencatatkan laba bersih mencapai Rp1,72 triliun

Seiring dengan kinerja keuangan ketiga emiten tersebut yang ciamik pada semester I-2024, pertumbuhan laba per saham (earnings per share/EPS) ketiganya pun juga cukup baik.

Pada 2021, EPS ADES tercatat 451, setahun kemudian naik signifikan menjadi 619. Lalu pada 2023 naik lagi menjadi 671. Pada tahun ini, EPS diperkirakan bisa naik lagi menjadi 793, atau tumbuh 18,18% secara tahunan.

Begitu juga dengan CLEO, di mana Pada 2021 tercatat 15 kemudian naik menjadi 16 pada 2022. Lalu pada 2023 naik lagi cukup signifikan menjadi 25, dan pada tahun ini EPS setahun diproyeksikan bisa mencapai 37.

Terakhir MYOR, EPS pada tahun ini diperkirakan mencapai 154 dari capaian tahun sebelumnya sebesar 143. Sementara pada tahun 2022 EPS berada di 87, naik dari EPS 2021 sebesar 53.

Sementara itu dari kinerja sahamnya, dalam sepekan, ketiganya juga cukup kencang dengan saham CLEO memimpin yakni melesat 9,05% secara point-to-point. Sedangkan dalam sebulan terakhir, ketiga saham juga bergairah dan CLEO juga kembali memimpin yakni melonjak 11,45%.

Begitu juga sepanjang tahun ini, di mana CLEO masih memimpin dengan terbang 78,17%. Tetapi MYOR dan ADES juga tak kalah kencang yakni masing-masing 8,84% dan 3,36%.

Adapun yang menarik, dalam lima tahun terakhir, ketiganya pun terbang di mana ADES memimpin yakni meroket 852,38%, kemudian CLEO terbang 285,67%, dan MYOR melesat 3,83%.

Ini Kata Ekonom Soal Galon Biang Kerok Masyarakat Jatuh Miskin

Ekonom Senior Bambang Brodjonegoro mengatakan bahwa air kemasan dalam bentuk galon menjadi salah satu kontribusi turunnya taraf ekonomi warga Indonesia.

“Selama ini secara tidak sadar itu sudah menggerus income kita secara lumayan dengan style kita yang mengandalkan semua kepada air galon, air botol dan segala macamnya,” kata Bambang di kantor Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) dikutip Jumat, (30/8/2024).

Mantan Menteri Keuangan ini mengatakan kebiasaan mengkonsumsi air dalam kemasan tidak terjadi di semua negara. Di negara maju misalnya, warga kelas menengah terbiasa menenggak air minum yang disediakan pemerintah di tempat-tempat umum. Dengan adanya fasilitas air minum massal itu, masyarakat negara maju tidak perlu mengeluarkan uang untuk membeli minum.

“Daya beli kelas menengahnya aman karena untuk air pun mereka tidak perlu mengeluarkan uang terlalu banyak,” kata dia.

Meski begitu, Bambang mengatakan faktor kebutuhan air minum hanyalah satu dari banyak faktor lain yang menyebabkan banyak kelas menengah turun ‘kasta’ ke kelas ekonomi yang lebih rendah. Bambang menduga faktor utama tumbangnya kelas menengah RI adalah pandemi Covid-19.

“Penyebabnya itu variatif. Karena kan kita lihat datanya dari 2019 ke 2023. Jadi penyebab pertama adalah Covid,” ujar dia.

Selama Covid-19, kata dia, banyak kelas menengah kehilangan pekerjaan. Sementara sebagian lainnya, mengalami kebangkrutan bisnis.

“Jangan lupa loh Covid itu terjadi 2 tahun dan yang terjadi pada waktu itu ada kelas menengah yang kehilangan pekerjaan dan kelas menengah yang bisnisnya berhenti atau bangkrut,” ungkapnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*