Bursa saham global terpantau berjatuhan pada hari ini, di mana hal ini terjadi karena memburuknya sentimen pasar, terutama dari Amerika Serikat (AS).
Pada hari ini, di Asia-Pasifik, bursa saham kompak berjatuhan, dengan indeks Nikkei 225 Jepang memimipin koreksi yakni ambruk hingga 12,4%. Nikkei pun mencatatkan kinerja yang cukup kelam pada hari ini, di mana terakhir kalinya Nikkei mengalami ‘Black Monday’ pada 1987 silam.
Sementara itu di Eropa, pada perdagangan awal sesi Senin hari ini juga kembali berjatuhan. Indeks Stoxx menjadi yang paling parah koreksinya di awal sesi hari ini yakni mencapai 2,82%.
Namun yang utama, bursa saham AS, Wall Street menjadi penyebab ambruknya bursa global hari ini. Pada akhir perdagangan pekan lalu, indeks Nasdaq Composite menjadi yang paling parah koreksinya yakni mencapai 2,43%.
Berikut pergerakan bursa saham global pada hari ini dan akhir pekan lalu.
Bursa saham global terpantau berjatuhan karena pasar khawatir dari adanya potensi resesi yang bakal terjadi di AS.
Potensi resesi AS muncul setelah rilis data pasar tenaga kerja di negeri Paman Sam yang melambat tajam dan beberapa data ekonomi AS yang cenderung mengecewakan.
Pekan lalu, negeri Paman Sam banyak mengeluarkan data penting seperti pengumuman suku bunga, pasar tenaga kerja yang meliputi klaim pengangguran, Non-Farm Payrolls (NFP) atau data pekerjaan tercatat di luar pertanian, sampai tingkat pengangguran.
Data pasar tenaga kerja mengalami perlambatan tajam. Dimulai dari klaim pengangguran naik signifikan ke 249.000, melampaui ekspektasi yang proyeksi hanya naik 1000 ke 236.000 klaim.
Sehari kemudian
kondisi pasar tenaga kerja yang melambat semakin dikonfirmasi dengan data pekerjaan tercatat di luar pertanian (non-farm payrolls/NFP) yang hanya bertambah 114.000, jauh dari estimasi pasar yang proyeksi adanya penambahan tenaga kerja 179.000 ke 175.000 pekerjaan. Tingkat pengangguran AS pada Juli 2024 juga melonjak ke 4,3% dari sebelumnya 4,1% pada Juni 2024.
Hal ini membawa kesimpulan pelaku pasar bahwa ancaman resesi meningkat di AS, yang kemudian memicu kekhawatiran akan terjadinya hard landing karena bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) dinilai lambat melakukan quantitative easing seperti yang terjadi saat pandemi Covid-19 lalu.